Otonomi Khusus PAPUA
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya).
Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh
wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua
Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan separatis yang
ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda,
wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia, wilayah ini dikenal
sebagai Provinsi Irian
Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti
menjadi Irian
Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang
tembaga dan emas Freeport,
nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002.
Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh
berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi
menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi
Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat).
Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151)
yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU
21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa
dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU
ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang
berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.
Sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya
mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya
memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat
Papua.
Momentum reformasi
di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi
Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang
positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus
merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi
berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah
di Provinsi Papua.
Wilayah Provinsi Papua
terdiri atas Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom. Daerah
Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik (dahulu dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah
kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri
atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. Kampung atau
yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.
Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk
kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul
Provinsi. Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi-provinsi yang baru
dilakukan atas persetujuan MRP dan
DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya,
kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa
datang.
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah
Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus
di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP)
yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan
tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan
berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan
perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota
DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi
Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh
mudah, jika jatah anggota DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD
adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.
Kekuasaan eksekutif Pemerintah Provinsi
Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut
Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil
Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan
Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan
Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan
Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara
Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
1. orang asli Papua;
2. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
3. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak
pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
4. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara
karena alasan-alasan politik.
MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri
atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang
jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Keanggotaan dan
jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan MRP adalah 5
(lima) tahun. Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri. MRP mempunyai tugas dan wewenang, yang diatur dengan
Perdasus, antara lain :
a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal
calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan
b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap
Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama
dengan Gubernur;
Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi
Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik
wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik
partainya masing-masing.
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan
pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) adalah
Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat
dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.
Dana Perimbangan
Dalam rangka otonomi
khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi
hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:
- Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
- Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
- Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
- Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
- Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
- Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
- Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
- Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam
dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas
persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi
Dana lain-lain
Dana Alokasi Khusus yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi
Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi
Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan
kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama
ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Perekonomian
Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang
memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak
masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan,
yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Pembangunan perekonomian
berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang
dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam
perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah
Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat.
Pemberian kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah
Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat
setempat
Penegak Hukum
Tugas
Kepolisian di Provinsi Papua
dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Pengangkatan
Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Seleksi untuk
menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di
Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan
memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur
Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama
Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan
lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua. Penempatan
perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar
Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah
penugasan.
Tugas Kejaksaan
dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan
Republik Indonesia.
Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa
Agung Republik
Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman
tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat,
yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan
perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili
sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat
hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang
bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai
sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak
kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum
adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Pengadilan
adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan
pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan
pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan
berkekuatan hukum tetap.
Masalah Yang Muncul
Pada tataran ideal, adanya kewenangan yang besar
dengan berlakunya UU Otsus Papua, diharapkan mampu menjadi solusi bagi
masyarakat yang selama ini termarginalkan oleh pembangunan. namun pada tataran
kenyataannya berbagai persoalan pembangunan mengemuka seakan menjadi problem
yang tak terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus. Pemberlakuan kebijakan ini
oleh sebagian kalangan dianggap belum memberikan perubahan yang signifikan
terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowerment)masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, Otsus Papua mengandung beberapa masalah krusial, yang
muara dari masalah-masalah tersebuat adalah kesejahteraan. Setidaknya ada tiga
(3) masalah, yaitu:
1.
Ketidaksamaan pemahaman dan kesatuan
persepsi; ada respon positif dan negative, respon negative seperti permintaan
referendum.
2.
Saling ketidakpercayaan antara masyarakat
Papua dan Pemerintah Pusat. Ini disebabkan masih adanya pelanggaran HAM
dan intimidasi pada rakyat Papua, dan telah menimbulkan kekecewaan yang sangat
mendalam sehingga mereka memilih alernatif memisahkan diri dari NKRI.
3.
Masalah ketidaksiapan pemerintah daerah,
hal ini terlihat dari kualitas sumber daya manusia yang ada.
4.
Kegagalan implementasi
pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan dokternya, serta
sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang kesehatan dan
pendidikan di Papua sangat mengkhatirkan.
5.
Data hasil kajian demokrasi
(Democratic Center) Tahun 2010 Universitas Cenderawasih, menyimpulkan penyebab
Otonomi Khusus Papua tidak berjalan efektif diantaranya; Permasalahan masih
terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat dengan aturan
perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut dimensi institusional
(kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah institusi penting yang
diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum
optimalnya sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan
DPRP) di Papua.
6.
Pemerintah pusat tidak serius,
tegas dan berani untuk menyelidiki dan memeriksa elit atau pejabat pemerintahan
daerah Papua yang terindikasi korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
indikasi kerugian negara sebesar Rp319 miliar dalam penggunaan dana otonomi
khusus (Otsus) Papua. BPK hanya mengaudit 66,27% dana sebesar Rp19,1 triliun,
ada indikasi penyelewengan dana otsus mencapai Rp319 miliar.
7.
Kontradiksi sejarah dan
konstruksi identitas politik orang Papua, permasalahan menyangkut dimensi
politik, menyangkut proses bergabungnya Tanah Papua ke dalam bagian NKRI.
Artinya, anggapan pertama masyarakat Papua tentang ilegalnya hasil Pepera
tersebut masih terus menguat. Anggapan tokoh masyarakat Papua, Pepera
yang lama tidak fair dan memutarbalikkan sejarah Papua sebagai sebuah entitas.
Sementara pemerintah RI tetap yakin hasil Pepera itu sah sesuai 'New York Agreement'1962 dan
Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi
2505, pada tanggal 19 November 1969. Tidak ada yang harus diragukan.
Sementara itu pada sisi yang lain, Pemerintah menilai pelaksanaan otonomi khusus Papua masih jauh panggang dari
asap. dari sisi pengaturan misalnya, peraturan turunan UU Otsus No35/2008 yang
harusnya dibuat ternyata tidak direalisasikan. Sehingga implikasinya
menyebabkan ada ketidakjelasan urusan pengelolaan dan tumpang tindih
pengelolaan kewenangan. Di tingkat daerah ternyata Pemprov Papua, Pemprov Papua
Barat, DPRP, DPRPB, MRP, MRPB belum menyelesaikan beberapa Perdasus dan Perdasi
sebagai implementasi UU Otsus. Akibatnya, pelaksanaan wewenang, tugas, dan
tanggung jawab serta pola dan mekanisme kerja sama belum dibangun, sehingga
kinerja yang dihasilkan belum optimal.
Dalam pengelolaan keuangan pun, masih terdapat masalah
mendasar. Hingga kini pembagian dan pengelolaan penerimaan dana Otsus hanya
diatur Peraturan Gubernur. Sementara kabupaten dan kota tidak memiliki acuan
dan petunjuk teknis dalam pengelolaan dana otsus. Dan ini membuka peluang dana
otsus diselewengkan. Sejalan dengan perihal ini, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional merekomendasikan agar pemda Papua dan Papua Barat segera
menyusun perda yang mengatur tentang koridor pengalokasian dana otonomi khusus
(Otsus) yang nilainya mencapai Rp.40 triliun per tahun.
ANALISIS
A.
KEUANGAN
Dalam rangka otonomi
khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi
hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut berdasarkan UU no 21
tahun 2001:
- Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
- Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
- Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
- Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
- Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
- Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
- Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
- Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam
dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas
persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi
Dana lain-lain
Dana Alokasi Khusus yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi
Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi
Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan
kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama
ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Pada dimensi keuangan Otonomi Khusus di Papua
menimbulkan permasalahan-permasalahan yang akan menggagalkan otonomi khusus
ini. Otonomi Khusus di Papua dalam dimensi Keuangan sangat istimewa, mengapa
demikian? Pemerintah merasa Papua adalah daerah yang kaya akan SDAnya yang
belum banyak tereksplorasi dan layak untuk dipertahankan keberadaannya. Di sisi
lain Pemerintah Provinsi papua terutama masyarakat Papua merasa Pemerintah
Pusat tidak memperhatikan atau menganaktirikan Papua. Ini menimbulkan
gejolak-gejolak yang merangsang masyarakat Papua ingin memerdekaakan diri dan
keluar dari NKRI. Pemerintah Indonesia yang tidak mau kehilangan aset
berharganya melakukan tawar-menawar dan negosisasi kepada pemerintah dan tokoh
masyarakat mengenai kesepakatan antara Indonesia denga Papua dan tersepakati
bahwa Papua menjadi Daerah Otonomi Khusus. Jadi bisa disimpulkan bahwa
pemberian dasar Papua menjadi daerah ototnomi khusus karena pemerintah belum
rela Papua merdeka dan pisah dengan NKRI karena masih punya potensi yang belum
tergarap juga.
Papua memperoleh otonomi khusus sehingga dana yang
diberikan dari APBN kepada APBD Papua sangat-sangat fantastis hingga Rp 40
triliun besarnya. Pemerintah tidak bisa menolak karena berbagai tekanan dan
ancaman keamanan dan ketertiban NKRI bila papua bergejolak. Maka dana sebesar
itu digelontorkan kepada Provinsi Papua. Dana sebesar itu hanya diatur oleh
Gubernur Papua, sedangkan untuk wilayah Kota dan Kabupaten tidak memilliki
acuan atau petunjuk teknis dalam pengelolaan dana otsus. Terindikasi bahwa
sebagian dana otsus dinikmati sendiri oeleh beberapa kalangan terutama pejabat
daerah di Papua. Dana yang besar memberikan peluang korupsi yang besar, istilah
ini sangat cocok dan relevan untuk Papua. Semenjak adanya otsus ini dari segi
keuangan papua semakin meningkat namun kesejahteraaan dan pembangunan kurang
mampu dirasakan oleh rakyat Papua, hanya sedikit dan terpusat di kota-kota
besar Papua. Dana otsus yang “dimakan” beberapa oknum ini juga akibat
pendidikan rakyat papua yang masih rendah secara umum, sehingga dana yang
diberikan oleh pusat “dimainkan” sedemikian rupa oleh para oknum termasuk para
elite papua yang berpendidikan tinggi untuk memanfaatkan dana otsus yang cukup
besar itu.
Jika dana otsus Papua terus dibiarkan seperti ini maka
Pemerintah Indonesia akan mengalami kerugian yang sangat banyak serta
pembangunan di Papua dan kesejahteraan rakyat Papua tidak akan meningkat secara
signifikan. Pemerintah pusat harus berani untuk mengawasi dan mengontrol
pengeluaran dan pemasukan APBD Provinsi Papua terutama dana yang diperoleh dari
dana otsus pemerintah. Pemerintah berana menangkap oknum yang “bermain” dalam
korupsi dana otsus yang mencapai Rp 319 miliar dari 60% dana otsus yang
diselidiki BPK. Jika terjadi gejolak pemerintah harus memberikan statement
kepada masyarakat Papua tentang penyelewengan dana otsus oleh beberapa oknum
dan pemerintah harus siap menghadapi segala gejolak di Papua termasuk
pemberontakan.
B.
KEWENANGAN
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menjelaskan mengenai Otonomi Khusus
Papua. Pada Bab IV dijelaskan beberapa kewenangan Pemerintah Provinsi Papua
dengan diberlakukannnya Otonomi Khusus di Papua. Berikut cuplikan Bab IV
mengenai Kewenangan:
1. Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan kecuali
kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal,
agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Selain
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi
Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang ini.
3. Pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Perdasus atau Perdasi.
4. Kewenangan
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup kewenangan sebagaimana telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
5. Selain
kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota memiliki kewenangan berdasarkan Undang-undang ini yang diatur lebih lanjut
dengan Perdasus dan Perdasi.
6. Perjanjian
internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan
Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
7. Provinsi
Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau
badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
8. Gubernur
berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi
Papua.
9. Tata
cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dengan Perdasus.
Kewenangan yang didapatkan atau diberikan kepada Pemerintah Daerah Papua
sangat luas oleh Pemerintah Pusat. Saya akan lebih menyoroti di Provinsi Papua yang
berhak mebuat Majelis Rakyat Papua atau MRP dan ini tidak ada di daerah lain di
Indonesia selain di Papua. Berikut adalah wewenang MRP yang diatur dalam
Perdasus Papua nomor 4 tahun 2008:
MRP mempunyai tugas dan wewenang :
a)
memberikan
pertimbangan dan Persetujuan terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil
Gubernur yang di usulkan;
b)
memberikan
pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang di ajukan oleh
DPRP bersama-sama dengan Gubernur;
c)
memberikan
saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang
dibuat oleh pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan Pihak Ketiga yang
berlaku di wilayah Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang
asli Papua;
d)
memperhatikan
dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum
perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua
serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;
e)
memberikan
pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota
mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.
Peran dari MRP di Papua sangat
penting dan krusial, dimana segala wewenang dan tugas dari MRP menyangkut
keputusan mengenai persetujuan demi kebaikan rakyat Papua. Mengesahkan Perdasus
yang dibuat DPRP, memberikan persetujuan calon Gubernur dan Wakilnya, dll.
Posisi MRP sangat tinggi di wilayah Provinsi Papua. Perjanjian kerjasama Papua
dengan pihak ketiga baik dalam negeri maupun asing harus mendapat persetujuan
dari MRP. MRP bisa dibilang sebagai “dewa” masyarakat adat dan masyarakat asli
Papua. Segala keputusan yang diambil akan berdampak langsung kepada rakyat
papua terutama masyarakat adat. MRP memposisikan diri untuk selalu berpihak
kepada masyarakat adat tidak kepada NKRI.
Papua memiliki kewenangan yang
lebih banyak untuk mengatur daerahnya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah
Pusat. Masyarakat Papua yang masih memegang hukum adat diakomodasi oleh
Pemerintah Papua, sehingga di papua terdapat 2 hukum yang berlaku yaitu hukum
adat dan hukum NKRI. Papua juga memiliki peradilan hukum adat yang brfungsi
memberikan peradilan terhadap pelanggaran hukum adat.
C. KELEMBAGAAN
Dalam UU nomor 21 tahun 2001 menjelaskan ketentuan
umum tentang bentuk dan struktur pemerintahan.
1) Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP
sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.
2) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di
Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi
kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan
terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan
hidup beragama.
3) MRP dan DPRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.
4) Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta
perangkat pemerintah Provinsi lainnya.
5) Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD
Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan
eksekutif.
6) Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas
Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
7) Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan
Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
Otonomi Khusus yang diberikan
pemerintah Indonesia terhadap Provinsi Papua juga didasarkan pada perlindungan
HAM masyarakat Papaua dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, disini
dapat terlihat usaha Provinsi Papua mewujudkan tujuan tersebut dengan membentuk
MRP yang menjadi lembaga eksekutif yang melindungi HAM masyrakat asli papua dan
masyarakat Adat. Adanya lembaga inin juga akan menimbulkan berbagai
permasalahan diantaranya penambahan biaya pegawai untuk anggota MRP, membuka
pintu korupsi untuk wilayah elit provinsi Papua. Dengan kata lain adanya MRP
membuat Kue Korupsi semakin banyak dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi
di Papua
Untuk Kepala Daerah
1)
Pemerintah
Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif
yang disebut Gubernur.
2)
Gubernur dibantu
oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur.
3)
Tata cara
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Yang
dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik
Indonesia dengan syarat-syarat:
a) orang
asli Papua;
b) beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c) berpendidikan
sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara;
d) berumur
sekurang-kurangnya 30 tahun;
e) sehat
jasmani dan rohani;
f) setia
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
g) tidak
pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena
alasan-alasan politik; dan
h) tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
Syarat-syarat yang diajukan untuk menjadi seorang
kepala daerah di Provinsi Papua jika dilihat masyarakat Indonesia sangat
diskriminatif dan sangat ekskliusif seperti yang disebuta “orang asli papua”.
Pada saat perkuliahan Prof. Warella beliau mengatakan ada semacam kasta di
daerah Papua:
1. Orang
Papua yang lahir di papua, ayah Papua, Ibu Papua
2. Orang
Papua yang lahir di Papua, Ayah Papua, Ibu non Papua
3. Oranga
Papua yang lahir di Papua, Ayah non Papua, Ibu Papua
4. Orang
Papua yang lahir di Papua, Ayah dan Ibu non Papua
5. Orang
non Papua (pendatang)
Kasta
nomor 1 ini akan medapatkan kesempatan yang besar dan berpeluang untuk menjadi
kepala pemerintahan di wilayah Provinsi Papua.
Jika melihat dari kacamata masyarakat Papua, ini
dilakukan demi terjaganya aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua, mereka
tidak ingin dijajah ditanah mereka sendiri. Demi mewujudkan kepentingan itu
maka pemimpin Pemerintahan Papua harus orang asli Papua. Diharapkan pemimpin
ini mampu mengakomodir aspirasi rakyat papua dan kepentingan adat Papua.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua
diunduh pada tanggal 09 September 2012 pukul 19.30
http://id.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Papua diunduh pada tanggal 09 September 2012 pukul
19.45
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/04/26/otonomi-khusus-papua-dinamika-dan-solusi-pemecahannya/
diunduh pada tanggal 09 September 2012 pukul 20.00
http://pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=136:faktor-faktor-otonomi-khusus-gagal-di-papua-tulisan-bagian
kedua&catid= 8:makalah& Itemid=103
diunduh pada tanggal 09 September 2012 pukul 20.10
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua