Senin, 11 November 2013

OTONOMI KHUSUS PAPUA



Otonomi Khusus PAPUA
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002.
Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Wilayah Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik (dahulu dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.
Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi-provinsi yang baru dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.
Kekuasaan eksekutif Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
1.      orang asli Papua;
2.      setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
3.      tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
4.      tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri. MRP mempunyai tugas dan wewenang, yang diatur dengan Perdasus, antara lain :
a.       memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan
b.      memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;
Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.
Dana Perimbangan
Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:
  1. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
  2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
  3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
  4. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
  5. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
  6. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
  7. Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
  8. Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi
Dana lain-lain
Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Perekonomian
Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Pemberian kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat
Penegak Hukum
Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua. Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.
Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
Masalah Yang Muncul
Pada tataran ideal, adanya kewenangan yang besar dengan berlakunya UU Otsus Papua, diharapkan mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang selama ini termarginalkan oleh pembangunan. namun pada tataran kenyataannya berbagai persoalan pembangunan mengemuka seakan menjadi problem yang tak terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus. Pemberlakuan kebijakan ini oleh sebagian kalangan dianggap belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowerment)masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, Otsus Papua mengandung beberapa masalah krusial, yang muara dari masalah-masalah tersebuat adalah kesejahteraan. Setidaknya ada tiga (3) masalah, yaitu:
1.      Ketidaksamaan pemahaman dan kesatuan persepsi; ada respon positif dan negative, respon negative seperti permintaan referendum.
2.      Saling ketidakpercayaan antara masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Ini disebabkan masih adanya pelanggaran HAM dan intimidasi pada rakyat Papua, dan telah menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam sehingga mereka memilih alernatif memisahkan diri dari NKRI.
3.      Masalah ketidaksiapan pemerintah daerah, hal ini terlihat dari kualitas sumber daya manusia yang ada.
4.      Kegagalan implementasi pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan dokternya, serta sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan di Papua sangat mengkhatirkan.
5.      Data hasil kajian demokrasi (Democratic Center) Tahun 2010 Universitas Cenderawasih, menyimpulkan penyebab Otonomi Khusus Papua tidak berjalan efektif diantaranya; Permasalahan masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat  dengan aturan perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut dimensi institusional (kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah institusi penting yang diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum optimalnya sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan DPRP) di Papua.
6.      Pemerintah pusat tidak serius, tegas dan berani untuk menyelidiki dan memeriksa elit atau pejabat pemerintahan daerah Papua yang terindikasi korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp319 miliar dalam penggunaan dana otonomi khusus (Otsus) Papua. BPK hanya mengaudit 66,27% dana sebesar Rp19,1 triliun, ada indikasi penyelewengan dana otsus mencapai Rp319 miliar.
7.      Kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua, permasalahan menyangkut dimensi politik, menyangkut proses bergabungnya Tanah Papua ke dalam bagian NKRI. Artinya, anggapan pertama masyarakat Papua tentang ilegalnya hasil Pepera tersebut masih terus menguat. Anggapan  tokoh masyarakat Papua, Pepera yang lama tidak fair dan memutarbalikkan sejarah Papua sebagai sebuah entitas. Sementara pemerintah RI tetap yakin hasil Pepera itu sah sesuai 'New York Agreement'1962 dan Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada tanggal 19 November 1969. Tidak ada yang harus diragukan.
Sementara itu pada sisi yang lain, Pemerintah menilai pelaksanaan otonomi khusus Papua masih jauh panggang dari asap. dari sisi pengaturan misalnya, peraturan turunan UU Otsus No35/2008 yang harusnya dibuat ternyata tidak direalisasikan. Sehingga implikasinya menyebabkan ada ketidakjelasan urusan pengelolaan dan tumpang tindih pengelolaan kewenangan. Di tingkat daerah ternyata Pemprov Papua, Pemprov Papua Barat, DPRP, DPRPB, MRP, MRPB belum menyelesaikan beberapa Perdasus dan Perdasi sebagai implementasi UU Otsus. Akibatnya, pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung jawab serta pola dan mekanisme kerja sama belum dibangun, sehingga kinerja yang dihasilkan belum optimal.
Dalam pengelolaan keuangan pun, masih terdapat masalah mendasar. Hingga kini pembagian dan pengelolaan penerimaan dana Otsus hanya diatur Peraturan Gubernur. Sementara kabupaten dan kota tidak memiliki acuan dan petunjuk teknis dalam pengelolaan dana otsus. Dan ini membuka peluang dana otsus diselewengkan. Sejalan dengan perihal ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional merekomendasikan agar pemda Papua dan Papua Barat segera menyusun perda yang mengatur tentang koridor pengalokasian dana otonomi khusus (Otsus) yang nilainya mencapai Rp.40 triliun per tahun.
ANALISIS

A.      KEUANGAN
Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut berdasarkan UU no 21 tahun 2001:
  1. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
  2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
  3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
  4. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
  5. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
  6. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
  7. Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
  8. Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi
Dana lain-lain
Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Pada dimensi keuangan Otonomi Khusus di Papua menimbulkan permasalahan-permasalahan yang akan menggagalkan otonomi khusus ini. Otonomi Khusus di Papua dalam dimensi Keuangan sangat istimewa, mengapa demikian? Pemerintah merasa Papua adalah daerah yang kaya akan SDAnya yang belum banyak tereksplorasi dan layak untuk dipertahankan keberadaannya. Di sisi lain Pemerintah Provinsi papua terutama masyarakat Papua merasa Pemerintah Pusat tidak memperhatikan atau menganaktirikan Papua. Ini menimbulkan gejolak-gejolak yang merangsang masyarakat Papua ingin memerdekaakan diri dan keluar dari NKRI. Pemerintah Indonesia yang tidak mau kehilangan aset berharganya melakukan tawar-menawar dan negosisasi kepada pemerintah dan tokoh masyarakat mengenai kesepakatan antara Indonesia denga Papua dan tersepakati bahwa Papua menjadi Daerah Otonomi Khusus. Jadi bisa disimpulkan bahwa pemberian dasar Papua menjadi daerah ototnomi khusus karena pemerintah belum rela Papua merdeka dan pisah dengan NKRI karena masih punya potensi yang belum tergarap juga.
Papua memperoleh otonomi khusus sehingga dana yang diberikan dari APBN kepada APBD Papua sangat-sangat fantastis hingga Rp 40 triliun besarnya. Pemerintah tidak bisa menolak karena berbagai tekanan dan ancaman keamanan dan ketertiban NKRI bila papua bergejolak. Maka dana sebesar itu digelontorkan kepada Provinsi Papua. Dana sebesar itu hanya diatur oleh Gubernur Papua, sedangkan untuk wilayah Kota dan Kabupaten tidak memilliki acuan atau petunjuk teknis dalam pengelolaan dana otsus. Terindikasi bahwa sebagian dana otsus dinikmati sendiri oeleh beberapa kalangan terutama pejabat daerah di Papua. Dana yang besar memberikan peluang korupsi yang besar, istilah ini sangat cocok dan relevan untuk Papua. Semenjak adanya otsus ini dari segi keuangan papua semakin meningkat namun kesejahteraaan dan pembangunan kurang mampu dirasakan oleh rakyat Papua, hanya sedikit dan terpusat di kota-kota besar Papua. Dana otsus yang “dimakan” beberapa oknum ini juga akibat pendidikan rakyat papua yang masih rendah secara umum, sehingga dana yang diberikan oleh pusat “dimainkan” sedemikian rupa oleh para oknum termasuk para elite papua yang berpendidikan tinggi untuk memanfaatkan dana otsus yang cukup besar itu.
Jika dana otsus Papua terus dibiarkan seperti ini maka Pemerintah Indonesia akan mengalami kerugian yang sangat banyak serta pembangunan di Papua dan kesejahteraan rakyat Papua tidak akan meningkat secara signifikan. Pemerintah pusat harus berani untuk mengawasi dan mengontrol pengeluaran dan pemasukan APBD Provinsi Papua terutama dana yang diperoleh dari dana otsus pemerintah. Pemerintah berana menangkap oknum yang “bermain” dalam korupsi dana otsus yang mencapai Rp 319 miliar dari 60% dana otsus yang diselidiki BPK. Jika terjadi gejolak pemerintah harus memberikan statement kepada masyarakat Papua tentang penyelewengan dana otsus oleh beberapa oknum dan pemerintah harus siap menghadapi segala gejolak di Papua termasuk pemberontakan.

B.       KEWENANGAN
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menjelaskan mengenai Otonomi Khusus Papua. Pada Bab IV dijelaskan beberapa kewenangan Pemerintah Provinsi Papua dengan diberlakukannnya Otonomi Khusus di Papua. Berikut cuplikan Bab IV mengenai Kewenangan:
1.      Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.      Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang ini.
3.      Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Perdasus atau Perdasi.
4.      Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup kewenangan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
5.      Selain kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), Daerah Kabupaten dan Daerah Kota memiliki kewenangan berdasarkan Undang-undang ini yang diatur lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi.
6.      Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7.      Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
8.      Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua.
9.      Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Perdasus.
Kewenangan yang didapatkan atau diberikan kepada Pemerintah Daerah Papua sangat luas oleh Pemerintah Pusat. Saya akan lebih menyoroti di Provinsi Papua yang berhak mebuat Majelis Rakyat Papua atau MRP dan ini tidak ada di daerah lain di Indonesia selain di Papua. Berikut adalah wewenang MRP yang diatur dalam Perdasus Papua nomor 4 tahun 2008:
MRP mempunyai tugas dan wewenang :
a)      memberikan pertimbangan dan Persetujuan terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang di usulkan;
b)      memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang di ajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;
c)      memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan Pihak Ketiga yang berlaku di wilayah Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua;
d)     memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;
e)      memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.
Peran dari MRP di Papua sangat penting dan krusial, dimana segala wewenang dan tugas dari MRP menyangkut keputusan mengenai persetujuan demi kebaikan rakyat Papua. Mengesahkan Perdasus yang dibuat DPRP, memberikan persetujuan calon Gubernur dan Wakilnya, dll. Posisi MRP sangat tinggi di wilayah Provinsi Papua. Perjanjian kerjasama Papua dengan pihak ketiga baik dalam negeri maupun asing harus mendapat persetujuan dari MRP. MRP bisa dibilang sebagai “dewa” masyarakat adat dan masyarakat asli Papua. Segala keputusan yang diambil akan berdampak langsung kepada rakyat papua terutama masyarakat adat. MRP memposisikan diri untuk selalu berpihak kepada masyarakat adat tidak kepada NKRI.
Papua memiliki kewenangan yang lebih banyak untuk mengatur daerahnya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah Pusat. Masyarakat Papua yang masih memegang hukum adat diakomodasi oleh Pemerintah Papua, sehingga di papua terdapat 2 hukum yang berlaku yaitu hukum adat dan hukum NKRI. Papua juga memiliki peradilan hukum adat yang brfungsi memberikan peradilan terhadap pelanggaran hukum adat.

C.      KELEMBAGAAN
Dalam UU nomor 21 tahun 2001 menjelaskan ketentuan umum tentang bentuk dan struktur pemerintahan.
1)      Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.
2)      Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
3)      MRP dan DPRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.
4)      Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya.
5)      Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif.
6)      Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
7)      Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
Otonomi Khusus yang diberikan pemerintah Indonesia terhadap Provinsi Papua juga didasarkan pada perlindungan HAM masyarakat Papaua dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, disini dapat terlihat usaha Provinsi Papua mewujudkan tujuan tersebut dengan membentuk MRP yang menjadi lembaga eksekutif yang melindungi HAM masyrakat asli papua dan masyarakat Adat. Adanya lembaga inin juga akan menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya penambahan biaya pegawai untuk anggota MRP, membuka pintu korupsi untuk wilayah elit provinsi Papua. Dengan kata lain adanya MRP membuat Kue Korupsi semakin banyak dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi di Papua

Untuk Kepala Daerah
1)      Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur.
2)      Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur.
3)      Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
a)      orang asli Papua;
b)      beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c)      berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara;
d)     berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
e)      sehat jasmani dan rohani;
f)       setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
g)      tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
h)      tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
Syarat-syarat yang diajukan untuk menjadi seorang kepala daerah di Provinsi Papua jika dilihat masyarakat Indonesia sangat diskriminatif dan sangat ekskliusif seperti yang disebuta “orang asli papua”. Pada saat perkuliahan Prof. Warella beliau mengatakan ada semacam kasta di daerah Papua:
1.      Orang Papua yang lahir di papua, ayah Papua, Ibu Papua
2.      Orang Papua yang lahir di Papua, Ayah Papua, Ibu non Papua
3.      Oranga Papua yang lahir di Papua, Ayah non Papua, Ibu Papua
4.      Orang Papua yang lahir di Papua, Ayah dan Ibu non Papua
5.      Orang non Papua (pendatang)
Kasta nomor 1 ini akan medapatkan kesempatan yang besar dan berpeluang untuk menjadi kepala pemerintahan di wilayah Provinsi Papua.
Jika melihat dari kacamata masyarakat Papua, ini dilakukan demi terjaganya aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua, mereka tidak ingin dijajah ditanah mereka sendiri. Demi mewujudkan kepentingan itu maka pemimpin Pemerintahan Papua harus orang asli Papua. Diharapkan pemimpin ini mampu mengakomodir aspirasi rakyat papua dan kepentingan adat Papua.





DAFTAR PUSTAKA


http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua diunduh pada tanggal 09 September 2012 pukul 19.30

http://id.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Papua   diunduh pada tanggal 09 September 2012 pukul 19.45



Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua